abstract

Selasa, 22 April 2014

Ma'alim Fi Thariq



Umat manusia berada di ambang kehancuran, disebabkan tertipu oleh pepesan kosong peradaban materi mereka. Baik peradaban demokrasi nan individualis maupun marxisme nan sosialis. Baik peradaban mitos maupun peradaban logis. Baik peradaban dendam maupun peradaban kasih sayang, bahkan kepada binatang. Baik ideologi trans nasional maupun nasionalis – ashobiyah jahiliyah.

Hanya Islam yang berpotensi mengisi kekosongan ini, karena lengkap, praktis dan dinamis.
{ كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ } [آل عمران: 110]

Tapi problemnya, manusia tak akan percaya jika umat Islam hanya menawarkan pepesan kosong lain: sebuah ideologi yang secara konsep menarik tapi tak berwujud di alam nyata. Era kebangkitan umat dengan era kepemimpinan dunia memang terpaut jauh. Saat Islam tidak berwujud ini, Barat mengisinya dengan puncak peradaban materi dan teknologi, yang membuat manusia terkesima. Menyaingi Barat dalam bidang ini mustahil, harus ditonjolkan keahlian lain yang tak dimiliki Barat.

Umat manusia hidup dalam asas jahiliyah: kewenangan ideologis diberikan kepada manusia lain, apapun nama ideologinya.

Maka diperlukan formula untuk melahirkan mujtama’ yang khas, yang menjadi alternatif tunggal peradaban manusia, dengan faktor-faktor berikut:

Faktor pertama: Membentuk jail qur’ani al fariid. Bersumber dari Al-Qur’an.

Faktor kedua: Dengan manhaj talaqqi unik: mengambil Al-Qur’an sisi perintah dan larangannya (aspek amalnya) – bukan sisi wacana ilmiah, fiqih dan teorinya semata (aspek ilmunya). Ini yang membedakan output generasi yang dihasilkan, zaman sahabat dengan zaman sesudahnya.

Faktor ketiga; ada uzlah syu’uriyyah setelah masuk Islam mereka meninggalkan jahiliyah secara total. Baik pemikiran, etika, aqidah dan sebagainya.

Ketiga faktor tersebut hanya mungkin lahir melalui suatu gerakan yang mengambil Islam sebagai amal, bukan ilmu semata. Membebaskan individu dari ikatan jahiliyah, dan siap menjadi prajurit Islam yang sigap dalam satu komando yang solid.

Tabiat manhaj Qur’ani:
Pertama: Mengawali dari aqidah; menjelaskan uluhiyah dan ubudiyah. Tema yang mencerabut sulthah dari tangan manusia (bumi) dan dikembalikan kepada langit. Al-Qur’an tidak mengawali penanaman pondasi dengan menggunakan pendekatan yang lebih mudah, misalnya faktor ekonomi, mengingat saat itu ekonomi Arab dibawah kendali Romawi dan Persia. Atau nasionalisme Arab. Atau jalur politik (high politik). Atau menggunakan teori benturan kelas sosial; kelas miskin melawan kelas kaya. Atau masuk dari arah etika.

Kedua: bermanhaj amali haroky, setelah kuat pondasi aqidahnya. Syariat hanya turun saat semuanya hanya mau dengan syariat Islam. Di titik ini, maka peran kita adalah menyiapkan pondasi, saat yang lain ‘berlatih’ mengisi dengan syariat.

Lalu dalam menanamkan aqidah, caranya dengan membangkitkan naluri (fitrah) yang telah terkotori noda jahiliyah. Menghidupkan naluri yang hampir mati oleh mitos yang jelas tidak logis. Lalu dari kumpulan individu yang tercerahkan itu, diperlihatkan perbedaan dengan individu yang masih dibalut pola pikir jahiliyah, dalam satu wadah jamaah muslimah yang kokoh. Membangun aqidah sekaligus membangun jamaah.

Tabiat ini jangan dirubah, karena pernah sukses menghasilkan jail shahabah.
{وقرآناً فَرَقناه لتقراه على الناس على مُكْثٍ ونزلناه تنزيلاً} .. [الإسراء: 106]

Teori pembangunan masyarakat muslim.

Bahwa ikatan sosial hanya aqidah! Maka, lahir persamaan di hadapan Allah. Tidak ada ikatan jahiliyah lagi.

Teori tentang Jihad fi sabilillah:

Karakteristiknya:
  1. Mencerminkan bahwa Islam memberi solusi masalah riil manusia kasus per kasus. Jika kasusnya pemikiran, dilawan dengan hujjah dan bayan. Jika kasusnya kekuatan bersenjata, dilawan dengan jihad musallah.
  2. Mencerminkan tahapan-tahapan dalam mencapai tujuan besar syariat: membebaskan manusia dari penghambaan selain Allah. Jihad dipandang sebagai tahapan pamungkas.
  3. Sebagai salah satu tahapan, tetap mengemban misi besar: pembebesan manusia dari penghambaan kecuali kepada Allah. Tak berbeda dengan tahap sebelumnya.
  4. Islam tidak pernah membiarkan halangan apapun dalam penghambaan kepada Allah, bahkan kekuatan bersenjata sekalipun.

Semua bentuk perlawanan dari musuh harus didata, lalu dibuat bentuk perlawanannya yang sepadan. Tidak boleh bertepuk sebelah tangan. Pemikiran dengan pemikiran, organisasi dengan organisasi, kekuatan senjata dengan kekuatan senjata.

Tahap-tahap penegakan Islam ternyata memenuhi alur logika fitrah manusia yang menghendaki kemerdekaan. Tak ada yang janggal menurut alur logika manusia, semuanya bisa dijelaskan dengan logis dan haqq. Artinya, seorang da’i logis melakukannya dan memang menjadi haknya untuk itu.

Misalnya, tahap-tahap berikut:

Tahap dakwah: mengkritik paganisme, karena memang tak logis dan merendahkan manusia. Kritik dipandang manusia yang masih punya fitrah sebagai terobosan yang menarik dan berani. Gentle.
Tahap sabar menerima siksaan disebabkan kritiknya: manusia menempatkannya sebagai bentuk keteguhan yang menarik dan kepahlawanan yang langka.
Tahap hijrah: manusia melihatnya sebagai solusi alami jika seseorang mengalami masalah dengan lingkungannya.
Tahap jihad difa’i: manusia melihatnya sebagai bentuk pembalasan yang berimbang kepada orang yang menzalimi.
Tahap jihad thalabi: manusia melihatnya sebagai tindakan logis untuk membebaskan kedurjanaan para thaghut, disamping logika kekuasaan memang ekspansif.

Yang menarik, Sayyid Qutb mengakhiri refleksinya dengan ayat:
{ وما نقموا منهم إلا أن يؤمنوا بالله العزيز الحميد }
Dan memang akhirnya ia dihukum gantung setelah menyelesaikan refleksi terakhirnya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar