abstract

Senin, 26 Desember 2011

Teungku Muhammad Daud Beureueh


          
           Genap tujuh tahun sudah Gempa danTsunami yang melanda negri serambi Mekkah, Aceh.  Tentunya hal itu masih membekas kuat dalam  ingatan kita. Betapa dahsyatnya kekuasaan Allah yang diperlihatkan. Gempa yang maha dahsyat dan hantaman gelombang  Tsunami yang menggelegar. Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa melayang, jutaan orang kehilangan tempat tinggalnya, ribuan orang berpisah dengan sanak saudaranya. Sungguh, merupakan sebuah cobaan yang begitu berat apabila kita rasakan.  
            Daerah-daerah yang terkena tsunami semua rata. Hanya menyisakan sisa bangunan yang hancur porak poranda. Namun, sekali lagi Allah menunjukan kekuasaanya. Diantara daerah-daerah yang rata karena terkena dahsyatnya gelombang Tsunami, disana didapati masjid-masjid masih tetap berdiri kokoh seaakan tak tersentuh dahsyatnya gelombang tsunami.  Subhanallah !

            Terlepas dari itu semua, Aceh adalah salah satu wilayah yang terletak di ujung utara pulau sumatera, negeri yang terkenal dengan kegigihannya menegakkan syari’at Islam. Bila kita cermati sejarah, pada masa penjajahan kolonial Belanda Aceh adalah negeri yang tersulit untuk dikalahkan karena gigihnya  perjuangan para ulamanya.
            Berbicara soal perjuanagan rakyat Aceh, disana didapati salah seorang tokoh yang terkenal dengan julukan “Bapak Darul Islam dan Bapak Orang Aceh” yaitu Daud Beureueh.
            Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R. Compton dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)
Siapakah Dia?
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.
Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Dari PUSA Menuju Darul Islam
Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang-Orang Aceh".
Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."
Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".
            Dalam perjuangannya menegakkan syari’at Islam, sebuah rintangan menghadangnya ketika terkena  pengkhianatn oleh pemerintah orde lama terkhusus Soekarno. Pengkhianatan  pemerintah  orde  lama  itu,  dengan  jelas terlihat  dalam  dialog  antara  Tengku  Daud  Beureueh  dan  presiden Soekarno.  Bagian  terakhir  dari dialog  tersebut,  selengkapnya  adalah sebagai berikut:Presiden:  “Saya  minta  bantuan  kakak,  agar  rakyat  Aceh  turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar  antara  Indonesia  dan  Belanda  untuk  mempertahankan kemerdekaan  yang  telah  kita  proklamirkan  pada  tanggal  17  Agustus 1945”.  Daud  Beureueh:”  Saudara  Presiden!  Kami  rakyat  Aceh  dengan segala  senang  hati  dapat  memenuhi  permintaan  presiden,  asal  saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah,  perang  untuk  menegakkan  agama  Allah,  sehingga  kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid”.  Presiden:  ”Kakak!  Memang  yang  saya  maksud-kan  adalah perang  yang  seperti  telah  dikobarkan  oleh  pahlawan-pahlawan  Aceh yang  terkenal  seperti  Tengku  Tjhik  di  Tiro  dan  lain-lain  yaitu  perang yang  tidak  kenal  mundur,  perang  yang  ber-semboyan  “merdeka  atau syahid”.  Daud  Beureueh:”Kalau  begitu  kedua  pendapat  kita  telah bertemu  Saudara  Presiden.  Dengan  demikian  bolehlah  saya  mohon kepada  Saudara  Presiden,  bahwa  apabila  perang  telah  usai  nanti, kepada  rakyat  Aceh  diberikan  kebebasan  untuk  menjalankan  syari’at Islam  di  dalam  daerahnya”.  Presiden:  ”Mengenai  hal  itu  kakak  tak usah  khawatir.  Sebab  90%  rakyat  Indonesia  beragama  Islam”.  Daud Beureueh: ”Maafkan saya  Sudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan,  bahwa  hal  itu  tidak  menjadi  jaminan  bagi  kami.  Kami meng-inginkan  suatu  kata  ketentuan  dari  Saudara  Presiden”.  Presiden  :  ”Kalau  demikian  baiklah,  saya  setujui  permintaan  kakak itu”.  Daud  Beureueh  :  ”Alhamdulillah,  atas  nama  rakyat  Aceh  saya mengucapkan  terimakasih  banyak  atas  kebaikan  hati  Saudara Presiden.  Kami  mohon,  (sambil  menyodorkan  secarik  kertas  kepada Soekarno)  sudi  kiranya  Sdr.  Presiden  menulis  sedikit  di  atas  kertas ini”.
Mendengar  ucapan  Tengku  Muhammad  Daud  Beureueh  itu langsung  Presiden  Soekarno  menangis  terisak-isak.  Air  matanya  yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak-isak  Presiden  Soekarno  berkata:  ”Kakak!  Kalau  begitu  tidak  ada
gunanya  aku  menjadi  Presiden.  Apa  gunanya  menjadi  Presiden  kalau tidak  dipercaya”.  Langsung  saja  Tengku  Daud  Beureueh  menjawab: ”Bukan  kami  tidak  percaya,  Saudara  Presiden.  Akan  tetapi  hanya sekedar  menjadi tanda  yang  akan  kami  perlihatkan  pada  rakyat  Aceh yang  akan  kami  ajak  untuk  berperang”.  Lantas  Presiden  Soekarno, sambil  menyeka  air  matanya,  berkata:”Wallahi,  Billahi,  kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri  sesuai  dengan  syari’at  Islam.  Dan  Wallah,  saya  akan pergunakan  pengaruh  saya  agar  rakyat  Aceh  benar-benar  nanti  dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih  ragu-ragu  juga?”  Dijawab  oleh  Tengku  Muhammad  Daud Beureueh:  ”Saya  tidak  ragu  lagi  Saudara  Presiden.  Sekali  lagi  atas nama  rakyat  Aceh  saya  mengucapkan  banyak  terimakasih  atas kebaikan  hati  Saudara  Presiden”.  Menurut  keterangan  Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat Presidenmenangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu.
Dari dialog  di atas, kita bisa maklum bahwa, secara historis, dari sejak  awal  masyarakat  Aceh  ketika  bergabung  dengan  Indonesia, menginginkan  otonomi  dengan  penerapan  hukum  Islam.  Orang  Aceh siap  membantu  pemerintah  Indonesia  me-lawan  Belanda,  dengan suatu  syarat, supaya syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan  kata  lain,  masyarakat  ingin  di  Aceh  berlaku  syari’at  Islam dalam bingkai negara Kesatuan RI. Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji  dengan  berurai  air  mata,  ternyata  ia  ingkar  dan  tidak konsekuen  terhadap  ucapannya  sendiri.  Melihat  kenyataan  ini,  suatu hari,  dengan  suara  masygul,  Daud  Beureueh  pernah  berkata:”Sudah ratusan  tahun  syari’at  Islam  berlaku  di  Aceh.  Tetapi  hanya  beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh”. Maka sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar