Genap tujuh tahun sudah Gempa danTsunami yang melanda negri serambi Mekkah, Aceh. Tentunya hal itu masih membekas kuat dalam ingatan kita. Betapa dahsyatnya kekuasaan Allah yang diperlihatkan. Gempa yang maha dahsyat dan hantaman gelombang Tsunami yang menggelegar. Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa melayang, jutaan orang kehilangan tempat tinggalnya, ribuan orang berpisah dengan sanak saudaranya. Sungguh, merupakan sebuah cobaan yang begitu berat apabila kita rasakan.
Daerah-daerah yang terkena tsunami
semua rata. Hanya menyisakan sisa bangunan yang hancur porak poranda. Namun,
sekali lagi Allah menunjukan kekuasaanya. Diantara daerah-daerah yang rata karena
terkena dahsyatnya gelombang Tsunami, disana didapati masjid-masjid masih tetap
berdiri kokoh seaakan tak tersentuh dahsyatnya gelombang tsunami. Subhanallah
!
Terlepas
dari itu semua, Aceh adalah salah satu wilayah yang terletak di ujung utara
pulau sumatera, negeri yang terkenal dengan kegigihannya menegakkan syari’at
Islam. Bila kita cermati sejarah, pada masa penjajahan kolonial Belanda Aceh
adalah negeri yang tersulit untuk dikalahkan karena gigihnya perjuangan para ulamanya.
Berbicara soal perjuanagan rakyat Aceh,
disana didapati salah seorang tokoh yang terkenal dengan julukan “Bapak Darul
Islam dan Bapak Orang Aceh” yaitu Daud Beureueh.
Teungku
Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama
lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji
Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R.
Compton dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya
sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa
Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang,
sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama
Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen.
Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd
R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)
Siapakah
Dia?
Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan
pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah
Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik
Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di
kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan
"Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di
lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang
sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil
dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa
dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami
langkah hidupnya kemudian.
Orang tuanya memberi nama Muhammad
Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari
penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah
bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus
mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah,
ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda
seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih
mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa
kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah
semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh
masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di
telinga masyarakat Aceh.
Dalam pusat pendidikan semacam ini,
Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan
agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan
tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa
lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya
ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.
Sekalipun tidak mendapatkan
pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau
mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa
Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat
Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).
Kemampuan yang luar biasa ini,
sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar
tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan
shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu
Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula
ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai
popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu,
beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak
sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran
seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung
adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh
perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas
resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai.
Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam
perlawanan tersebut.
Dari PUSA
Menuju Darul Islam
Untuk membungkam dan memadamkan
perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan
pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan
berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para
ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah
Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku
Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah
Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama,
dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi
"Bapak Orang-Orang Aceh".
Semenjak itu, Daud Beureuh memegang
peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar
cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat
Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana
yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan
Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk
seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan,
kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan
contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam
di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara
Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati
kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran
Alquran."
Langkah awal dalam upaya itu adalah
mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan
zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh
berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat
itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak
Darul Islam".
Dalam perjuangannya menegakkan syari’at
Islam, sebuah rintangan menghadangnya ketika terkena pengkhianatn oleh pemerintah orde lama
terkhusus Soekarno. Pengkhianatan pemerintah
orde lama itu,
dengan jelas terlihat dalam
dialog antara Tengku
Daud Beureueh dan
presiden Soekarno. Bagian terakhir
dari dialog tersebut, selengkapnya
adalah sebagai berikut:Presiden: “Saya
minta bantuan kakak,
agar rakyat Aceh
turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara
Indonesia dan Belanda
untuk mempertahankan kemerdekaan yang
telah kita proklamirkan
pada tanggal 17
Agustus 1945”. Daud Beureueh:” Saudara
Presiden! Kami rakyat
Aceh dengan segala senang
hati dapat memenuhi
permintaan presiden, asal
saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang
untuk menegakkan agama
Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam
perang itu maka berarti mati syahid”.
Presiden: ”Kakak! Memang yang
saya maksud-kan adalah perang
yang seperti telah
dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang
terkenal seperti Tengku
Tjhik di Tiro
dan lain-lain yaitu
perang yang tidak kenal
mundur, perang yang
ber-semboyan “merdeka atau syahid”. Daud
Beureueh:”Kalau begitu
kedua pendapat kita
telah bertemu Saudara Presiden.
Dengan demikian bolehlah
saya mohon kepada Saudara
Presiden, bahwa apabila
perang telah usai
nanti, kepada rakyat Aceh
diberikan kebebasan untuk
menjalankan syari’at Islam di
dalam daerahnya”. Presiden:
”Mengenai hal
itu kakak tak usah
khawatir. Sebab 90%
rakyat Indonesia beragama
Islam”. Daud Beureueh: ”Maafkan saya Sudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa
hal itu tidak
menjadi jaminan bagi
kami. Kami meng-inginkan suatu
kata ketentuan dari
Saudara Presiden”. Presiden
: ”Kalau demikian baiklah,
saya setujui permintaan
kakak itu”. Daud Beureueh
: ”Alhamdulillah, atas nama
rakyat Aceh saya mengucapkan terimakasih
banyak atas kebaikan
hati Saudara Presiden. Kami
mohon, (sambil menyodorkan
secarik kertas kepada Soekarno) sudi
kiranya Sdr. Presiden
menulis sedikit di
atas kertas ini”.
Mendengar ucapan
Tengku Muhammad Daud
Beureueh itu langsung Presiden
Soekarno menangis terisak-isak.
Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi
bajunya. Dalam keadaan terisak-isak
Presiden Soekarno berkata:
”Kakak! Kalau
begitu tidak ada
gunanya aku
menjadi Presiden. Apa
gunanya menjadi Presiden
kalau tidak dipercaya”. Langsung
saja Tengku Daud
Beureueh menjawab: ”Bukan
kami tidak percaya,
Saudara Presiden. Akan
tetapi hanya sekedar menjadi tanda
yang akan kami
perlihatkan pada rakyat
Aceh yang akan kami
ajak untuk berperang”. Lantas
Presiden Soekarno, sambil menyeka
air matanya, berkata:”Wallahi, Billahi,
kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai
dengan syari’at Islam.
Dan Wallah, saya
akan pergunakan pengaruh saya
agar rakyat Aceh
benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam
daerahnya. Nah, apakah kakak masih
ragu-ragu juga?” Dijawab
oleh Tengku Muhammad
Daud Beureueh: ”Saya
tidak ragu lagi
Saudara Presiden. Sekali
lagi atas nama rakyat
Aceh saya mengucapkan
banyak terimakasih atas kebaikan
hati Saudara Presiden”. Menurut
keterangan Tengku Muhammad Daud
Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat Presidenmenangis terisak-isak, beliau
tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji
Presiden Soekarno itu.
Dari
dialog di atas, kita bisa maklum bahwa,
secara historis, dari sejak awal masyarakat
Aceh ketika bergabung
dengan Indonesia, menginginkan otonomi
dengan penerapan hukum
Islam. Orang Aceh siap
membantu pemerintah Indonesia
me-lawan Belanda, dengan suatu
syarat, supaya syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata
lain, masyarakat ingin
di Aceh berlaku
syari’at Islam dalam bingkai
negara Kesatuan RI. Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan
berurai air mata,
ternyata ia ingkar
dan tidak konsekuen terhadap
ucapannya sendiri. Melihat
kenyataan ini, suatu hari, dengan
suara masygul, Daud
Beureueh pernah berkata:”Sudah
ratusan tahun syari’at
Islam berlaku di
Aceh. Tetapi hanya
beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh
karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh”.
Maka sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar